Friday, September 21, 2007

PROFESI KEPOLISIAN SEBAGAI PELINDUNG, PENGAYOM DAN PELAYAN MASYARAKAT

Profesi Kepolisian Sebuah Tantangan Profesionalisme POLRI

Seiring dengan perkembangan perubahan dalam tubuh ABRI –yang hingga orde tumbang terdiri dari TNI dan POLRI- yang mengamanatkan untuk pemisahan fungsi pertahanan dan kemananan maka pemisahan TNI dengan POLRI sebuah jawaban yang harus dilaksanakan. Pemisahan ini pula yang melahirkan berbagai perubahan paradigma kepolisian, dimana salah satunya adalah penyebutan profesi kepolisian. Hal ini juga yang melahirkan pengaturan pembinaan profesi dan kode etik profesi kepolisian. Penyebutan profesi memberikan makna penting bagi anggota kepolisian bila dapat dimaknai secara optimal dalam menjalani pekerjaannya. Labelisasi profesi juga memberikan makna bahwa menjadi seorang polisi adalah lebih dari sekedar pekerjaan. Secara teoritis pekerjaan dapat dibedakan dalam tiga arti, arti umum, arti tertentu, dan arti khusus , yaitu:
1. Pekerjaan dalam arti umum yaitu pekerjaan apa saja yang mengutamakan kemampuan pisik, baik sementara atau tetap dengan tujuan memperoleh pendapatan;
2. Pekerjaan dalam arti tertentu yaitu pekerjaan yang mengutamakan kemampuan pisik atau intelektual, baik sementara atau tetap dengan tujuan pengabdian;
3. Pekerjaan dalam arti khusus yaitu pekerjaan bidang tertentu yang mengutamakan kemampuan pisik dan intelektual, bersifat tetap dengan tujuan memperoleh pendapatan.

Suatu pekerjaan dapat dinyatakan sebagai sebuah profesi ketika pekerjaan tersebut merupakan pekerjaan yang membutuhkan kemahiran dan pengetahuan yang khusus berdasarkan persiapan akademik dalam ilmu pengetahuan tertentu . Profesi, menurut Abdulkadir Muhammad, tergolong dalam pekerjaan dalam arti khusus dengan rumusan kriteria sebagai pekerjaan bidang tertentu berdasarkan keahlian khusus yang dilakukan secara bertanggung jawab dengan tujuan memperoleh penghasilan . Pengertian profesi sebagaimana telah dikemukakan mengandung beberapa elemen penting sebagai ciri khusus. G. Millerson menyimpulkan adanya 23 elemen pengertian profesional antara lain; a. Skill based on theoritical knowledge; b. The provision of training and education; c. Testing the competence of members; d. Organization; e. An ethical code of conduct; f. Altruistic service.
Tak jauh berbeda dengan beberapa rumusan profesi yang telah dinyatakan sebelumnya, Daryl Koehn mengemukakan kriteria seorang profesional sebagai berikut:

1. Orang yang mendapat izin dari negara untuk melakukan suatu tindakan tertentu;
2. Menjadi anggota organisasi pelaku-pelaku yang sama-sama mempunyai hak suara yang menyebarluaskan standar dan/atau cita-cita perilaku dan yang saling mendisiplinkan karena melanggar standar itu;
3. Memiliki pengetahuan atau kecakapan yang hanya diketahui dan dipahami oleh orang-orang tertentu serta tidak dimiliki oleh anggota-anggota masyarakat lain;
4. Memiliki otonomi dalam melaksanakan pekerjannya, dan pekerjaan itu tidak amat dimengerti oleh masyarakat yang lebih luas;
5. Secara publik di muka umum mengucapkan janji (sumpah) untuk memberi bantuan kepada mereka yang membutuhkan bantuan.

Pendapat yang telah diuraikan oleh beberapa orang pakar tersebut pada umumnya memiliki kesamaan yang dapat dijadikan ukuran keberadaan sebuah profesi. Ukuran tersebut antara lain :
1. Keahlian berdasarkan pemahaman teori serta pendidikan dan latihan;
Secara formal standar keahlian dapat diperoleh melalui pendidikan formal seperti jenjang pendidikan S2 dan S3, disamping juga diperoleh melalui pendidikan dan latihan yang dilakukan oleh organisasi profesi yang bersangkutan. Program pendidikan dan latihan yang diselenggarakan harus sistematik dan aplikatif sebagai upaya memperkuat dan meningkatkan keterampilan yang bersifat teknis. Sedangkan pendidikan formal difokuskan pada peningkatan ilmu dan pengetahuan di bidang tertentu .
2. Pengujian kompetensi bagi keanggotaan profesi;
Pengujian atas kompetensi dan kemampuan yang dimiliki oleh setiap profesi akan dapat meningkatkan dan menjaga kualitas keahlian profesi itu sendiri. Pengujian tersebut dilakukan pada awal rekrutmen dengan menggunakan kriteria tertentu. Selain itu untuk menjaga kualitas profesi selama melakukan fungsinya, maka perlu dilakukan semacam eksaminasi atas kualitas kerja sesuai dengan standar profesi tersebut.
3. Terintegrasi dalam suatu organisasi profesi;
Sebagai sebuah moral community (masyarakat moral) yang memiliki cita-cita dan nilai bersama, keberadaan sebuah organisasi yang dapat mewadahi kaum profesional dianggap perlu. Sekalipun kaum profesional dinilai sebagai kelompok yang mempunyai kekuasaan tersendiri dan tanggung jawab khusus. Selain itu keberadaan organisasi dapat menjadi salah satu kontrol atas perilaku kaum profesi itu sendiri.
4. Kode etik profesi;
Kode etik profesi hukum merupakan merupakan self regulation (pengaturan diri) bagi profesional hukum dengan tujuan untuk mencegah terjadinya perilaku yang tidak etis. Kode etik sebagai sarana kontrol sosial dalam pelaksanaan profesi sebagai pelayanan dan pengabdian terhadap masyarakat. Pelaksanaan kode etik ini mesti diawasi secara terus menerus. Mesti ada kontrol sosial dari dewan kehormatan atau komisi pengawas. Dewan kehormatan harus menilai dan menindak tegas berupa pemberian sanksi kepada pelanggar kode etik .
5. Majelis Kode Etik/ Dewan Kehormatan Etik
Majelis Kode Etik dibutuhkan sebagai alat kontrol bagi pelaksanaan dan kepatuhan kaum profesional atas kode etik profesi.
6. Ditujukan bagi pelayanan atas kepentingan orang lain;
Keberadaan kaum profesi pada dasarnya merupakan bentuk pengabdian bagi kepentingan yang lebih luas. Dalam hal ini ia bekerja tidak sekadar mewakili suatu institusi, melainkan benar-benar mewakili suatu prinsip yang ideal, ialah terwujudnya layanan yang bermutu untuk para pencari keadilan.
7. Adanya kebebasan dalam menjalankan tugas dan peranannya;
Profesional hukum harus mampu menafsirkan hukum yang berlaku secara tepat dan cermat bagi kehidupan bersama, tanpa mengabaikan etika profesinya. Untuk itu profesional hukum mesti otonom, dalam arti bebas dan mandiri dalam menjalankan profesi, tanpa ada tekanan dari pihak lain untuk merekayasa proses pencapaian keadilan hukum .
8. Memiliki otoritas tertentu dari negara untuk melakukan suatu tindakan
Otoritas yang dimiliki berkenaan dengan tugas, fungsi, dan wewenangnya sebagai sebuah profesi. Otoritas tersebut diberikan melalui suatu peraturan perundang-undang sebagai dasar legalitas atas segala kewenangan yang dimilikinya.
9. Pengucapan janji (sumpah) untuk memberi bantuan kepada mereka yang membutuhkan.
Janji publik yang diucapkan oleh kaum profesional diharapkan dapat menjadi legitimasi bagi kaum profesi untuk bertindak bagi suatu kepentingan tertentu. Janji publik tersebut menjadi dasar bagi otoritas dan legitimasi untuk mendapatkan kepercayaan yang lebih luas dari masyarakat.
Berdasar atas berbagai pemaparan tentang kriteria profesi kepolisian maka dapatlah ditarik salah satu elemen penting dalam penguatan profesi kepolisian adalah dengan adanya kode etik dan dengan adanya Majelis Kehormatan Etik. Dalam bahasa yang berbeda namun tetap memiliki makna yang sama, saat ini Kepolisian telah pula memiliki mekanisme penegakan etik dengan adanya sidang etik profesi kepolisian dan kode etik profesi kepolisian. Setelah memiliki kedua hal tersebut maka yang diperlukan adalah optimalitas penegakan ketentuan tersebut.
Bagian yang penting lagi dalam sebuah profesi dan hal ini mutlak perlu dimiliki oleh kepolisian adalah masalah pengujian kompetensi dan terkait dengan masalah pelayanan kepada publik. Dalam hal ini perlu ditegaskan kembali perihal prinsip kewenanganan kepolisian yang ditujukan pada pencapaian bagi lahirnya keamanan dan ketertiban serta penegakan hukum, dimana Polri mengambil posisi sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat. Hal ini penting untuk dijadikan ukuran bagi kinerja seluruh Pejabat Kepolisian Negara dalam menjalankan tugas dan wewenangnya sehingga Kepolisian menjadi institusi negara yang dicintai oleh masyarakat.

POLRI dan Masyarakat Bersama Membangun Bangsa
Peran dan keberadaan POLRI sangat dinantikan dalam masyarakat baik itu dalam keadaan yang non konflik maupun dalam hal terdapat konflik. Kinerja POLRI sangat tergantung kepada peran serta masyarakat dalam menciptakan suasana yang damai dan tertib guna memberikan daya dukung bagi terlaksananya pembangunan dengan baik. Untuk itu selain POLRI kini dimungkinkan dibentuk oleh Pemerintah Daerah berbagai Satuan Polisi Pamong Praja dan Satuan pelindung Masyarakat (LINMAS). Namun meskipun telah ada bentukan pemerintah daerah tersebut kordinasi tetap dibutuhkan satu sama lain dimana kordinasi tersebut berkaitan dengan masalah penegakan hukum. Dalam hal ini POLRI tetap berada dalam posisi sentral untuk penciptaan penegakan hukum tersebut.
Bersamaan dengan peran serta masyarakat untuk membantu peran, fungsi dan wewenang maka diperlukan suatu mekanisme penerimaan laporan masyarakat yang lebih tanggap, tangkas dan cepat dalam menjawab laporan masyarakat. Kelambanan POLRI untuk bertindak terhadap pelanggaran hukum yang terjadi, disinyalir sebagai alas bagi sebagian kalangan untuk membentuk front sendiri guna memberikan perlindungan bagai masyarakatnya, ataupun dengan alasan untuk penegakan amar ma’ruf nahi mungkar. Secara sepihak pembenrukan front atau kesatuan sendiri dalam masyarakat memang dilindungi haknya oleh Konstitusi, namun bagaimana bila hal itu telah merangsek sampai pada tahap penegakan hukum secara sepihak (eigenrichting). Hal ini tetap tak dapat dibenarkan, menurut hemat saya Kepolisian berada dalam posisi yang sulit dalam satu sisi Polisi dianggap membiarkan pengrusakan yang terjadi namun disisi lain pengrusakan tersebut mereka lakukan karena Polisi tidak bertindak. Hal ini terjadi pangkalnya karena mekanisme penyelesaian pengaduan yang masih kurang tanggap, tangkas dan cepat.
Namun terlepas dari semua polemik yang ada menurut hemat saya mekanisme displin yang kini ada di POLRI bahkan kerap kali persidangan Disiplin diperlihatkan meskipun tidak secara gamblang oleh Media Elektronik, namun mekanisme pelaporan publik atas pelanggaran dan penyalahgunaan profesi kepolisian masih kurang tersebarluaskan di masyarakat. Masyarakat juga tak bisa menutup mata ketika terdapat anggota Kepolisian yang menyalahgunakan atau melakukan penyimpangan profesionalnya namun mungkin tidak tahu kemana laporan harus dilayangkan.
Dalam hal ini menurut hemat saya Kepolisian harus bekerjasama dengan masyarakat atau organisasi non pemerintah yang fokus pada pelayanan publik untuk dapat menyebarluaskan dan memberikan pemahaman untuk hal tersebut. sangat penting untuk dicatat pula, bahwa bila mekanisme pengajuan pelaporan telah dimengerti masyarakat maka diperlukan mekanisme publik untuk memberitahukan perihal tibdak lanjut laporan masyarakat tersebut. mekanisme dimaksud adalah dengan menyampaikan kepada pelapor langsung tentang tindak lanjut atas laporan tersebut dan mekanisme publik atas laporan masyarakat yang kerap diterima.
Besar harapan saya bahwa POLRI dan masyarakat dapat bekerjasam dengan baik seiring dengan peningkatan profesionalitas pejabat kepolisian dalam menjalankan tugas, fungsi dan wewenangnya di masyarakat. Sehingga figur Polisi yang didamba dan dicintai publik sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat dapat terwujudkan dengan baik.

No comments: