Friday, September 21, 2007

ASPEK HUKUM PERSAINGAN USAHA DI UNI EROPA TINJAUAN TERHADAP POSISI DOMINAN

A. Pendahuluan
Ditingkat Eropa terdapat aturan-aturan dalam rangka perjanjian Uni Eropa yang bertujuan untuk mengatur dan mencegah timbulnya perjanjian kartel oleh para pelaku ekonomi dari berbagai negara. Di Jerman, hukum Anti-monopoli Jerman diterapkan bila unsur-unsur dari pelaku ekonomi yang mengadakan perjanjian kartel merupakan badan hukum atau warganegara Jerman. Pengadilan Jerman dalam prakteknya juga memeriksa kasus-kasus monopoli yang timbul di negara lain yang mempunyai dampak hambatan persaingan dunia usaha di Jerman (domestic effect).
Lembaga Anti-monopoli Federal menyatakan mempunyai yurisdiksi untuk memeriksa perkara-perkara hambatan persaingan yang melampaui batas-batas negara bila dampak yang ditimbulkan dirasakan oleh pelaku ekonomi di Jerman. Pasal 130 ayat 2 Undang-undang Anti-monopoli Jerman menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan hukum Jerman diterapkan terhadap semua perkara-perkara hambatan persaingan di wilayah Jerman meskipun bersumber dari luar Jerman.
Hukum anti-monopoli Eropa juga diterapkan bila ada hambatan dari luar dan berdampak terhadap Eropa. Contohnya adalah upaya merger antara Boeing dan McDonald Douglas. Komisi Eropa mengirim surat keberatan mengingat bahwa merger tersebut akan berdampak terhadap dunia usaha di Eropa dan pasar internasional. Seperti diketahui bahwa di Eropa terdapat perusahaan Airbus yang merupakan pesaing utama Boeing dan McDonald Douglas. Bergabungnya Boeing dan McDonald Douglas dipastikan akan menimbulkan hambatan bagi Airbus dalam persaingan usaha di bidang tersebut.
Hukum Anti-monopoli Eropa pada prinsip mempunyai fungsi, yaitu sebagai pengontrol dan pengatur persaingan di dunia usaha dalam rangka pemerataan sosial dan ekonomi dan mendorong berkembangnya pasar bebas. Hukum Anti-monopoli Eropa juga mempunyai fungsi mendukung upaya-upaya menciptakan pasar tunggal Eropa.
Dalam memahami hukum persaingan usaha tidak sehat dan anti monopoly di Eropa selayaknya diperhatikan beberapa pengaturan penting dalam kerangka kebijakan persaingan usaha di Eropa. Ketentuan mengenai persaingan usaha dapat ditemukan dalam Titel VI Bab I mengenai pengaturan persaingan usaha. Dalam bagian ini diatur mengenai berbagai hal yang terlarang untuk dilakukan, dimana tindakan tersebut akan memberikan dampak bagi pelaksanaan pasar bersama Uni Eropa.
Sebelum lebih jauh membahas pengaturan hukum persaingan usaha di Uni Eropa terlebih pada bagian pembahasan akan dipaprkan perihal hukum persaingan usaha dari segi pengertian persaingan usaha, sejarah lahirnya persaingan usaha dan berbagai segi dari hukum persaingan usaha yang diantaranya adalah permasalahan posisi dominan, dan terdapat beberapa contoh kasus yangterjadi terkait dengan posisi dominan dan berbagai implikasinya terhadap penciptaan pasar bersama yang lebih sehat di pasar Uni Eropa.

B. Pembahasan
1. Pengertian Persaingan Usaha Tidak Sehat
Persaingan usaha tidak sehat atau unfair competition adalah istilah yang kerap kali muncul dalam berbagai literatur yang menuliskan perihal aspek hukum persaingan usaha. Hal yang sama dapat pula ditemui dalam UU No.5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha tidak Sehat. Apabila dilarang persaingan usaha tidak sehat maka memang perlu untuk digariskan pengertian persaingan usaha itu secara tersendiri. Secara leksikal akan sangat sulit untuk memberikan pengertian tentang persaingan usaha, namun secara gramatikal dapat ditemui pengertiannya yang pada pokoknya adalah perseteruan atau rivalitas yang terjadi diantara pelaku usaha yang secara independen berusaha mendapatkan konsumen dengan menawarkan harga yang baik dengan kualitas barang atau jasa yang baik pula .
Hansen sendiri menyatakan bahwa persaingan usaha merupakan sistem persaingan yang berlandaskan pada pemikiran kebebasan individual dimana kebebasan ini hanya dapat dipahami secara negatif bahwa tidak ada sama sekali paksaan dari pihak negara dan tidak dapat ditentukan secara positif karena hal ini akan membatasi ruang kebebasan yang disediakan bagi setiap orang. secara legal akan sulit mencari definisi persaingan usaha akan sangt sulit untuk membantu kita memahami makna persaingan usaha. Hal ini disebabkan persaingan usaha adalah manifestasi nyata yang berlandaskan otonomi para pelaku pasar, dimana dari segi metode ekonomi tersebut tak dapat dibatasi melalui definisi . Karena itu dari segi hukum cukup untuk menganggap persaingan usaha sebagai ekspresi dari kebebasan individu untuk bertindak .
Ketika membandingkan kebijakan persaingan usaha tidak sehat antara EC dan AS, yang harus dingat adalah bahwa yang membedakan antara keduanya adalah yang terpentinga adalah ketentuan yang mengatur itu sendiri yaitu integrasi pasar. Dalam bagian lain yang paling kentara adalah formulasi definisi itu sendiri. Dimana dalam ketentuan EC, faktor sosial dan politik memegang peranan yang lebih besar dibandingkan dengan komponen ekonomi, dimana komponen ekonomi di US memegang peranan penting. Perbedaan yang paling utama diantara kedua sistem adalah:
a) sistem penegakan hukum: di EC penegakan hukum tersentralisasi sedangkan di US terdesentralisasi.
b) Prosedur: dalam EC prosedur tidak terlalu formal dimana hal ini terlihat denmgan minimnya ketentuan perihal pembuktian.
c) Definisi yang membatasi anti kompetisi sebagaimana diatur dalam pasal 85 ayat (1) dan restrain of trade diatur dalam peraturan Sherman. Di US diatur lebih rinci mulai dari ketentuan per se dan rule of reason, ktika dalam EC, Komisi menginterpretasikan larangan sebagaimana diatur dalam pasal 85 ayat 1 lebih luas, sebagai besar analisis rules of reason diatur dengan pengecualian sebagaimana diatur dalam pasal 85 ayat 3.
d) Monopolisasi dan posisi dominan; kebijakan yang diatur dalam bagan UU Sherman actadalah lebih lebar daripada ang datur dalam pasal 86 yang mengambil interensi pasar dan persaingan sehat dalam bagan penjelasan.
e) Posisi Dominan sebagaimana dikembangkan oleh ECJ dalam putusannya diartikan didalamnya termasuk elemen perilaku mandiri dan pencegahan atas persaingan yang efektif, sedangkan dalam ketentuan di US diartikan sebagai kekuatan monopoli yang biasanya didefinisikan lebih luas sebagai kekuatan untuk mengontrol harga atau mengecualikan persaingan. Dalam praktik keduanya, di pengadilan baik di ECJ dan US sangat memperhatikan kondisi pasar dalam memutus permasalahan kompetisi.

2. Perkembangan Historis Persaingan Usaha di Eropa (Jerman dan EC)
Hukum anti-monopoli Jerman disamping diterapkan terhadap kasus-kasus hambatan persaingan yang timbul di Jerman, juga terhadap kasus-kasus di luar negeri yang menimbulkan hambatan persaingan di Jerman. Dalam perkembangannya, Lembaga Antimopoli di Jerman dalam memeriksa kasus-kasus yang terjadi di luar negeri menerapkan hukum Anti Monopoli Eropa dalam memeriksa kasus-kasus tersebut. Sedangkan Hukum anti-monopoli Jerman diterapkan bagi kasus-kasus yang terjadi di Jerman saja.
Digunakannya dua sistem hukum yang berbeda tersebut menyebabkan timbulnya apa yang disebut “diskriminasi hukum”, mengingat hukum anti-monopoli Jerman cenderung lebih ketat (dengan hukuman denda yang lebih tinggi) dibandingkan dengan hukum anti-monopoli Eropa. Dalam Undang-undang Jerman semua jenis perjanjian kartel dilarang, kecuali untuk pengadaan barang dan jasa yang harus diajukan sebelumnya kepada lembaga anti-monopoli untuk mendapatkan persetujuan. Pengecualian lain baik di sistem hukum Jerman atau Eropa maupun AS adalah penerapan “rules of reason”, yaitu bila keuntungan yang ditimbulkan lebih besar daripada hambatan persaingan yang ditimbulkan.
Sejarahnya, Undang-undang anti-monopoli Jerman diterapkan setelah adanya tekanan dari pihak luar, khususnya setelah perang dunia kedua dimana penerapan hukum anti-monopoli ini sebagai persyaratan mengalirnya bantuan pembangunan, khususnya dari AS. Dalam sejarahnya, situasinya sangat berlainan dimana tahun 1897 MA Kerajaan Jerman pernah memberikan putusan yang menyatakan bahwa secara umum perjanjian kartel dibolehkan.
Tahun 1923 baru ada peraturan mengenai kartel yang melarang penyalahgunaan posisi dominan yang dapat menghambat persaingan usaha, namun pada prakteknya peraturan tersebut tidak dilaksanakan. Bahkan pada masa pemerintahan Nazi, perusahaan didorong untuk membentuk kartel (dipaksa untuk merger). Setelah perang dunia kedua, pada tahun 1947 atas perintah sekutu, di Jerman dilaksanakan dekartelisasi dan pada tahun 1957 diberlakukan Undang-undang anti-monopoli Jerman. Yang isinya antara lain:
Perjanjian kartel secara umum dilarang.
Larangan penyalahgunaan posisi dominan.
Pemberlakuan Undang-undang ini mendapat tentangan dari kalangan pelaku usaha, asosiasi, pelobby yang pada akhirnya menghasilkan apa yang disebut “izin menteri”, suatu instrumen yang sangat kontroversial yang dapat mengabaikan “warning” dari komisi anti-monopoli. “Izin menteri” ini diterapkan dalam kartel yang bersifat spesifik, meskipun demikian, kontrol tetap dijalankan dengan prinsip mencegah adanya dominasi pasar. Dalam hal ini, pelaku ekonomi harus membuktikan bahwa perjanjian yang dilakukan tidak akan menyebabkan timbulnya hambatan persaingan. Ketentuan ini tidak berlaku terhadap produk cetak/penerbitan. Namun demikian produsen tidak diperbolehkan menentukan harga jual dan hanya diperbolehkan memberikan rekomendasi harga, “izin menteri” ini diajukan kepada Menteri Urusan Ekonomi dengan mempertimbangkan bahwa keuntungan yang timbul dari perjanjian merger tersebut lebih besar dari hambatan yang ditimbulkan serta tidak membahayakan ekonomi pasar.
Dalam sektor energi, terdapat pihak yang merasa terhambat usahanya karena adanya “izin menteri” tersebut. Keberatan diajukan ke pengadilan tinggi di Düsseldorf. Pengadilan memeriksa prosedural dari pemberian “izin menteri” dan bukan memeriksa perjanjian merger (pokok perkaranya). Pada tahun 1990, hampir semua pengecualian ini dicabut, seperti sektor telekomunikasi dan pos, kecuali sektor olah-raga. Namun diperkirakan sektor olah-raga ini nantinya akan dicabut juga agar sesuai dengan ketentuan-ketentuan Uni Eropa. Perkembangan terakhir adalah bahwa pelaku usaha diberikan keleluasaan untuk menilai sendiri apakah perjanjian yang dilakukan mengarah kepada monopoli atau tidak. Keberatan terhadap suatu perjanjian kartel atau posisi dominan suatu usaha dapat diajukan ke lembaga anti-monopoli.
3. Aspek Hukum Posisi Dominan
Aspek hukum posisi dominan dalam ketentuan hukum Uni Eropa diatur dalam pasal 82 Traktat Uni Eropa, dimana larangan ini dilakukan dalam hal posisi dalam pasar yang spesifik memberikan dampak perdangangan antar anggota Uni Eropa. Secara lengkap pasal 82 traktat tersebut berbunyi sebagai berikut:
Any abuse by one or more undertakings of a dominant position within the common market or in a substantial part of it shall be prohibited as incompatible with the common market in so far as it may affect trade between Member States.
Such abuse may, in particular, consist in:
(a) Directly or indirectly imposing unfair purchase or selling prices or other unfair trading conditions;
(b) Limiting production, markets or technical development to the prejudice of consumers;
(c) Applying dissimilar conditions to equivalent transactions with other trading parties, thereby placing them at a competitive disadvantage;
(d) Making the conclusion of contracts subject to acceptance by the other parties of supplementary obligations which, by their nature or according to commercial usage, have no connection with the subject of such contracts.

Posisi dominant didefinisikan oleh Court of Justice dalam kasus United Brands (kasus nomor 22 tahun 1976 yang diputus pada bulan Februari tahun 1978), dalam putusan tersebut dinyatakan bahwa posisi dominant adalah posisi kekuatan ekonomi yang dinikmati dengan pengambilalihan yang dilakukan untuk mencegah persaingan yang efektif yang dipelihara dalam pasar dengan memberikan kekuasaan untuk menjaga perkembangan pesaing secara mandiri serta perkembangan konsumen. Jadi dalam hal ini indikasi yang paling relevan adalah pembagian apasar yang luas, serta factor lain yang didalmnya termasuk kelemahan pesaing sehingga memperlemah persaingan, ketiadaan kompetisi laten dan pengawasan sumber daya dan teknologi.
Secara konseptual yang dimaksudkan dengan posisi dominant tidak ditemukan dalam pasal 82 Traktat, namun hanya diberikan contoh atas praktik pelanggaran, yaitu:
• Menerapkan harga secara tidak adil atau kondisi perdagangan lain yang tidak adil
• Pembatasan produksi, pasar atau pengembangan secara teknis lainnya yang dapat merugikan konsumen
• Penerapan kondisi yang tidak sama terhadap transaksi yang yang sama atau sejenis dengan pihak perdagangan yang lain
• Penerapan kewajiban tambahan dimana tidak terkait dengan tujuan dari kontrak.
Dalam putusan kasus Hoffman-La Roche (85/76 tanggal 13 Februari 1979) pengadilan menyatakan bahwa eksploitasi berlebihan dari posisi dominan adalah konsep yang obyektif. Hal ini mengulang dengan metode yang berbeda dari kondisi yang normal atas kompetisi produksi dan pelayanan yang didasarkan pelaksanaan transaksi operator komersil, yang berdampak lebih jauh kepada pengurangan kompetisi dalam pasar yang siap melemah dengan perhatian perusahaan saat kini.
Praktik pelanggran dapat bermacam bentuk. Hal itu dijelaskan dalam traktat hanya bagian utamanya saja, dimana Komisi dan pengadilan memberikan identifikasi yang lain selain yang ada dalam traktat, yaitu:
• Diskriminasi harga berdasarkan wilayah
• Pengembalian kesetiaan dimana pelanggan ditakut-takuti untuk menggunakan produk dari pesaing
• Harga murah dengan tujuan menghapuskan atau meniadakan pesaing
• Penolakan tanpa alasan untuk memasok barang
• Penolakan untuk pemberian lisensi.
Dampak dari adanya posisi dominant adalah terhadap perdagangan antar Negara di Uni Eropa sangat buruk bagi hubungan dagang antar negara. Dimana perilaku posisi dominan yang memberikan dampak pada perdagangan regional harus diawasi dengan baik dan dilarang untuk dilakukan karena memberikan dampak pada perdagangan regional. Namun untuk perilaku posisi dominan yang hanya memberikan dampak pada pasar nasional dikecualikan dari ketentuan dalam traktat. Hal ini kurang tepat karena perilaku ini tetap akan memberikan dampak pada perdagangan regional baik itu secara langsung maupun tidak langsung.

4. Penyelesaian Perkara Pelanggaran Posisi Dominan
Dalam hal prosedur pelaksanaan tindakan yang harus diambil untuk mengatasi posisi dominan, pada masa yang lampau hal ini diatur dalam peraturan 17 tahun 1962 (17/62) yang mengatur hal-hal sebagai berikut:
• The Commission mengambil tindakan dalam rangka menindaklanjuti keluhan atau pemberitahuan atau inisiatif sendiri. Informasi yang dibvutuhkan untuk itu dapat dimintakan kepada berbagai pihak, Commission dapat melakukan investigasi idustrial dan menentukan titik-titk pemeriksaan.
• Dalam hal ditemukan pelanggran yang telah terjadi, maka akan diambil keputusan untuk meminta penyelesaian perilaku posisi dominan dengan menghentikan perilaku tersebut secara sendiri, dan dapat diberikan penghukuman atas pelanggaran tersebut.
• Akan tetapi dapat pula dilakukan penjelasan negatif pada saat perusahaan meminta untuk dilakukan pemeriksaan atau investigasi industri akan tetapi tidak ditemukan perilaku posisi dominan.
• Meskipun begitu Traktat tidak menyediakan pengecualian, baik terhadap perorangan maupun berbasis industri, dari pemberian sanksi atas pelanggran posisi dominan.
Kasus penting yang telah diselesaikan dengan prosedur ini adalah kasus Tetrapak tahun 1991, dimana perusahaan dinyatakan bersalah atas perilaku posisi dominan dan dijatuh denda sebesar 75 Juta ECU.
The Commission telah mengajukan perubahan atas peraturan untuk penyelesaian pelanggaran perilaku posisi dominan. Berbagai hal yang diajukan untuk perubahan peraturan 17/62 terkait dengan issue-issue yang meliputi:
• Mendesentralisasi sistem, dalam hal ini pelaksanaan tindakan yang diambil adalah berdasarkan tindakan yang dikecualikan dari prinsip-prinsip yang diatu dalam pasal 82 Traktat. Jadi dalam hal ini the commission tak perlu lagi melakukan “negative clearance”.
• Dalam hal yang sama juga memastikan bahwa aturan telah dilaksanakan secara seragam yaitu dengan cara sebagai berikut:
1. bahwa pengaturan atau keberlakuan tindakan regional yang akan diambil hanyalah dalam hal pelanggran tersebut berdampak pada tingkat regional atau lebih dari tingkatan nasional.
2. the Commission mengambil tindakan yang penting untuk diambil dalam hal terkait dengan permasalahan individual yang terkait dengan pelanggaran, penghentian pelanggran, dan mengambil alih kasus yang ada di bawah kekuasaan nasional.
3. meningkatkan kewenangan yang dimiliki commission untuk melakukan inspeksi setempat atau pmeriksaan setempat.
4. The Commission memiliki kewenangan untuk mengatur aturan tambahan untuk kerjasama sistematis antara kewenangan nasioanl dalam regional dengan the Commission.
C. Penutup
Demikianlah berbagai aspek yang terkait dengan permasalah hukum persaingan di Uni Eropa yang secara lebih spesifik lagi pengaturan ini dilakukan terkait dengan permasalahan posisi dominan.

No comments: